BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Konon penyakit kusta telah menyerang
manusia sejak 300 SM dan telah dikenal oleh peradaban Tiongkok
kuno, Mesir kuno, dan India pada 1995 organisasi kesehatan dunia
(WHO) memperkirakan terdapat dua atau tiga juta jiwa yang cacat permanen karena
kusta.
Walaupun pengisolasian atau pemisahan
penderita dengan masyarakat dirasakan kurang perlu dan tidak etis beberapa kelompok penderita masih dapatditemukan dibelahan dunia
,seperti India,dan Vietnam.
Pengobatan yang efektif pada kusta
ditemukan pada akhir 1940-an dengan diperkenalkanya
dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga bakteri penyebab lepra sertahap
menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar, hal ini terjadi
hingga ditemukan pengobatan multi obat pada awal 1980an dan penyakit inipun
mampu ditangani kembali.
Maka dari itu, penulis membuat makalah yang berjudul “Penyakit
Kusta (Morbus Hansen) dan Asuhan Keperawatannya” dimaksudkan agar kita selaku
tenaga kesehatan mengetahui apa itu penyakit kusta, penularan, bagaimana
pencegahannya dan asuhan keperawatannya.
1.2 Tujuan
Makalah ini dibuat dengan tujuan sebagai berikut :
a. Untuk menjelaskan definisi kusta.
b. Untuk menjelasakan bagaimanakah klasifikasi kusta.
c. Untuk menjelasakan bagaimanakah etiologi
kusta.
d. Untuk menjelasakan bagaimanakah patofisiologi kusta.
e. Untuk menjelasakan bagaimanakah manifestasi
klinis kusta.
f. Untuk menjelaskan bagaimanakah konsep pencegahan kusta.
g. Untuk menjelasakan bagaimanakah asuhan keperawatan pada
klien kusta.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Penyakit Kusta
Definisi
Kusta adalah penyakit yang menahun dan
disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi,
kulit dan jaringan tubuh lainnya. (Depkes RI, 1998)
Kusta merupakan penyakit kronik yang
disebabkan oleh infeksi mikobakterium leprae. (Mansjoer Arif, 2000)
Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang
di sebabkan oleh mycobacterium lepra yang interseluler obligat, yang pertama
menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran
nafas bagian atas, sistem endotelial, mata, otot, tulang, dan testis ( djuanda,
4.1997 )
Kusta adalah penykit menular pada umunya
mempengaruhi ulit dan saraf perifer, tetapi mempunyai cakupan maifestasi klinis
yang luas ( COC, 2003)
Etiologi
Mikobakterium leprae merupakan basil tahan
asam (BTA) bersifat obligat intraseluler, menyerang saraf perifer, kulit dan
organ lain seperti mukosa saluran nafas bagian atas, hati, sumsum tulang
kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah diri mikobakterium leprae 12-21 hari
dan masa tunasnya antara 40 hari-40 tahun. Kuman kusta berbentuk batang dengan
ukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang
disebar satu-satu, hidup dalam sel dan BTA.
2.2 Epidemiologi Penyakit Kusta
Cara-cara penularan penyakit kusta sampai
saat ini masih merupakan tanda tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman
kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir hidung. Tetapi ada yang
mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah:
a. Melalui sekret hidung, basil yang berasal
dari sekret hidung penderita yang sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2–7
x 24 jam.
b. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya
adalah harus dibawah umur 15 tahun, keduanya harus ada lesi baik mikoskopis
maupun makroskopis, dan adanya kontak yang lama dan berulang-ulang.
Klinis ternyata kontak lama dan
berulang-ulang ini bukanlah merupakan faktor yng penting. Banyak hal-hal yang
tidak dapat di terangkan mengenai penularan ini sesuai dengan hukum-hukum
penularan seperti halnya penyakit-penyaki terinfeksi lainnya.
Menurut Cocrane (1959), terlalu sedikit
orang yang tertular penyakit kusta secara kontak kulit dengan kasus-kasus lepra
terbuka.
Menurut Ress (1975) dapat ditarik
kesimpulan bahwa penularan dan perkembangan penyakit kusta hanya tergantung
dari dua hal yakni jumlah atau keganasan Mycrobacterium Leprae dan daya tahan tubuh penderita. Disamping itu
faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini adalah :
- Usia : Anak-anak lebih peka
dari pada orang dewasa
- Jenis kelamin : Laki-laki lebih banyak
dijangkiti
- Ras : Bangsa Asia dan Afrika
lebih banyak dijangkiti
2.3 Konsep Diagnosa
Manifestasi Klinis
Menurut WHO (1995) diagnosa kusta
ditegakkan bila terdapat satu dari tanda kardinalberikut: 1)Adanya lesi kulit
yang khas dan kehilangan sensibilitas.Lesi kulit dapat tunggal atau multipel biasanya
hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga
biasanya berupa: makula, papul, nodul. Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit
merupakan gambaran khas.Kerusakan saraf terutama saraf tepi, bermanifestasi
sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot. 2) BTA positif, Pada beberapa kasus
ditemukan BTA dikerokan jaringan kulit. Penebalan saraf tepi, nyeri tekan,
parastesi.
Klasifikasi
No.
|
Kelainan kulit & hasil pemeriksaan
|
Pause Basiler
|
Multiple Basiler
|
1.
|
Bercak (makula)
· jumlah
· ukuran
· distribusi
· konsistensi
· batas
· kehilangan rasa pada bercak
· kehilangan berkemampuan
berkeringat,berbulu rontok pada bercak
|
· 1-5
· Kecil dan besar
· Unilateral atau bilateral asimetris
· Kering dan kasar
· Tegas
· Selalu ada dan jelas
· Bercak tidak berkeringat, ada bulu rontok
pada bercak
|
· Banyak
· Kecil-kecil
· Bilateral, simetris
· Halus, berkilat
· Kurang tegas
· Biasanya tidak jelas, jika ada terjadi
pada yang sudah lanjut
· Bercak masih berkeringat, bulu tidak
rontok
|
2.
|
Infiltrat
· Kulit
· membrana mukosa tersumbat perdarahan
dihidung
|
· Tidak ada
· Tidak pernah ada
|
· Ada,kadang-kadang tidak ada
· Ada,kadang-kadang tidak ada
|
3.
|
Ciri hidung
|
”central healing” penyembuhan ditengah
|
a.punched outlession
b. medarosis
c. ginecomastia
d. hidung pelana
e. suara sengau
|
4.
|
Nodulus
|
Tidak ada
|
Kadang-kadang ada
|
5.
|
Penebalan saraf tepi
|
Lebih sering terjadi dini, asimetris
|
Terjadi pada yang lanjut biasanya lebih dari 1 dan simetris
|
6.
|
Deformitas cacat
|
Biasanya asimetris terjadi dini
|
Terjadi pada stadium lanjut
|
7.
|
Apusan
|
BTA negatif
|
BTA positif
|
Dibagi menjadi 2 :
Untuk para petugas kesehatan di lapangan,
bentuk klinis penyakit kusta cukup dibedakan atas dua jenis yaitu:
1. Kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)
Merupakan bentuk yang tidak menular.Kelainan kulit berupa
bercak keputihan sebesar uang logam atau lebih, jumlahnya biasanya hanya
beberapa, sering di pipi, punggung, pantat, paha atau lengan. Bercak tampak
kering, perasaan kulit hilang sama sekali, kadang-kadang tepinya meninggi.Pada tipe ini lebih
sering didapatkan kelainan urat saraf tepi pada, sering gejala kulit tak begitu
menonjol tetapi gangguan saraf lebih jelas.
Komplikasi saraf serta kecacatan relatif
lebih sering terjadi dan timbul lebih awal dari pada bentuk basah. Pemeriksaan bakteriologis
sering kali negatif, berarti tidak ditemukan adanya kuman penyebab. Bentuk ini merupakan yang
paling banyak didapatkan di indonesia dan terjadi pada orang yang daya tahan
tubuhnya terhadap kuman kusta cukup tinggi.
2. Kusta bentuk basah (tipe lepromatosa)
Merupakan bentuk menular karena banyak
kuman dapat ditemukan baik di selaput lendir hidung, kulit maupun organ tubuh
lain. Jumlahnya lebih sedikit
dibandingkan kusta bentuk kering dan terjadi pada orang yang daya tahan
tubuhnya rendah dalam menghadapi kuman kusta. Kelainan kulit bisa berupa bercak
kamarahan, bisa kecil-kecil dan tersebar diseluruh badan ataupun sebagai
penebalan kulit yang luas (infiltrat) yang tampak mengkilap dan berminyak. Bila
juga sebagai benjolan-benjolan merah sebesar biji jagung yang sebesar di badan,
muka dan daun telinga. Sering disertai rontoknya alis mata, menebalnya cuping
telinga dan kadang-kadang terjadi hidung pelana karena rusaknya tulang rawan
hidung. Kecacatan pada bentuk ini umumnya terjadi pada fase
lanjut dari perjalanan penyakit. Pada bentuk yang parah bisa terjadi ”muka singa” (facies
leonina).
Diantara kedua bentuk klinis ini,
didapatkan bentuk pertengahan atau perbatasan (tipe borderline) yang
gejala-gejalanya merupakan peralihan antara keduanya. Bentuk ini dalam
pengobatannya dimasukkan jenis kusta basah.
Patogenesis
Setelah mikobakterium leprae masuk kedalam
tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respon setelah masa
tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas seluler (celuler
midialet immune) pasien. Kalau sistem imunitas seluler tinggi, penyakit
berkembang kearah tuberkoloid dan bila rendah berkembang kearah lepromatosa.
Mikobakterium leprae berpredileksi didaerah-daerah yang relatif dingin, yaitu
daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit. Derajat penyakit tidak selalu
sebanding dengan derajat infeksi karena imun pada tiap pasien berbeda. Gejala
klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler dari pada intensitas
infeksi oleh karena itu penyakit kusta disebut penyakit imonologik.
2.4 Konsep
Pencegahan Penyakit Kusta
v Pencegahan primer
Pencegahan
primer dapat dilakukan dengan :
a.
Penyuluhan kesehatan
Pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat
yang belum terkena penyakit kusta dan memiliki resiko tertular karena berada
disekitar atau dekat dengan penderita seperti keluarga penderita dan tetangga
penderita, yaitu dengan memberikan penyuluhan tentang kusta. Penyuluhan yang
diberikan petugas kesehatan tentang penyakit kusta adalah proses peningkatan
pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat yang belum menderita sakit
sehingga dapat memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari
penyakit kusta. Sasaran penyuluhan penyakit kusta adalah keluarga penderita,
tetangga penderita dan masyarakat (Depkes RI, 2006)
b.
Pemberian imunisasi
Sampai saat ini belum ditemukan upaya
pencegahan primer penyakit kusta seperti pemberian imunisasi (Saisohar,1994).
Dari hasil penelitian di Malawi tahun 1996 didapatkan bahwa pemberian vaksinasi
BCG satu kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebesar 50%,
sedangkan pemberian dua kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta
sebanyak 80%, namun demikian penemuan ini belum menjadi kebijakan program di
Indonesia karena penelitian beberapa negara memberikan hasil berbeda pemberian
vaksinasi BCG tersebut (Depkes RI, 2006).
v Pencegahan sekunder
Pencegahan
sekunder dapat dilakukan dengan :
a. Pengobatan pada penderita kusta
Pengobatan pada penderita kusta untuk memutuskan mata
rantai penularan, menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat
atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan.
Pemberian Multi drug therapy pada penderita kusta terutama
pada tipe Multibaciler karena tipe tersebut merupakan sumber
kuman menularkan kepada orang lain (Depkes RI, 2006).
v Pencegahan tertier
a. Pencegahan cacat kusta
Pencegahan tersier dilakukan untuk pencegahan
cacat kusta pada penderita. Upaya pencegahan cacat terdiri atas (Depkes RI,
2006) :
·
Upaya pencegahan cacat primer meliputi penemuan dini
penderita sebelum cacat, pengobatan secara teratur dan penangan reaksi untuk
mencegah terjadinya kerusakan fungsi saraf.
·
Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi perawatan diri
sendiri untuk mencegah luka dan perawatan mata, tangan, atau kaki yang sudah
mengalami gangguan fungsi saraf.
b. Rehabilitasi kusta
Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk
memperoleh fungsi penyesuaian diri secara maksimal atas usaha untuk
mempersiapkan penderita cacat secara fisik, mental, sosial dan kekaryaan untuk
suatu kehidupan yang penuh sesuai dengan kemampuan yang ada padanya. Tujuan
rehabilitasi adalah penyandang cacat secara umum dapat dikondisikan sehingga
memperoleh kesetaraan, kesempatan dan integrasi sosial dalam masyarakat yang
akhirnya mempunyai kualitas hidup yang lebih baik (Depkes RI, 2006).
Rehabilitasi terhadap penderita kusta meliputi :
·
Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan
untuk mencegah terjadinya kontraktur.
·
Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami
kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan.
·
Bedah plastik untuk mengurangi perluasan infeksi.
·
Terapi okupsi (kegiatan hidup sehari-hari) dilakukan bila
gerakan normal terbatas pada tangan.
·
Konseling dilakukan untuk mengurangi depresi pada penderita
cacat.
2.5 Konsep Terapi
Terapi Medik
Tujuan utama program pemberantasan kusta
adalah penyembuhan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan
mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang
lain untuk menurunkan insiden penyakit. Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan
kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini
bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi
ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi
persistensi kuman kusta dalam jaringan.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
a. Kusta adalah penyakit
yang menahun dan disebabkan oleh kuman micobakterium leprae.
b. Kusta dibagi dalam 2
bentuk,yaitu :
-kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)
-kusta bentuk basah (tipe lepromatosa)
c. Micobakterium leprae
merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligat intraseluller, menyerang
saraf perifer, kulit dan organ lain seperti mukosa saluran napas
bagian atas, hati, sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat.
d. Micobakterium leprae
masuk kedalam tubuh manusia, jika orang tersebut memiliki respon imunitas
yang tinggi maka kusta akan lebih mengarah pada tuberkuloid, namun jika respon
imunitas dari tubuh orang tersebut rendah maka kusta akan lebih mengarah pada
lepromatosa.
e. Manifestasi klinik dari
penderita kusta adalah adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas.
f. Penularan penyakit kusta sampai saat ini hanya
diketahui melalui pintu keluar kuman kusta yaitu: melalui sekret hidung dan
kontak langsung dengan kulit penderita. Selain itu ada faktor-faktor lain yang
berperan dalam penularan ini diantaranya: usia, jenis kelamin, ras, kesadaran
sosial dan lingkungan.
4.2 Saran
·
Untuk menanggulangi penyebaran penyakit kusta, hendaknya
pemerintah mengadakan suatu program pemberantasan kusta yang mempunyai tujuan sebagai penyembuhan pasien
kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari
pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan
insiden penyakit.
·
Hendaknya masyarakat yang tinggal didaerah yang endemi
akan kusta diberikan penyuluhan tentang, cara menghindari, mencegah, dan
mengetahui gejala dini pada kusta untuk mempermudah pengobatanya.
·
Karena di dunia kasus penderita kusta juga masih
tergolong tinggi maka perlu diadakanya penelitian tentang penanggulangan
penyakit kusta yang efektif