1.1 Latar Belakang
Petani merupakan kelompok kerja terbesar di Indonesia.
Meski ada kecenderungan semakin menurun, angkatan kerja yang bekerja di sektor
pertanian masih berjumlah 42 juta orang atau sekitar 40% dari angkatan kerja. Banyak
wilayah kabupaten Indonesia yang mengandalkan pertanian, termasuk perkebunan
sebagai sumber penghasilan daerah.
Dalam perspektif kesehatan dan keselamatan kerja
penerapan teknologi pertanian adalah health risk. Oleh karena itu ketika
terjadi sebuah pemilihan sebuah teknologi, secara implicit akan terjadi
perubahan factor resiko kesehatan. Teknologi mencangkul kini digantikan dengan
traktor, hal ini jelas mengubah factor resiko kesehatan dan keselamatan kerja
yang dihadapi oleh petani.
Penerapan teknologi baru di pertanian memerlukan
adaptasi sekaligus keterampilan. Demikian pula dengan penggunaan pestisida ,
seperti indikasi hama, takaran, teknik penyemprotan, dan lain-lain. Ironisnya
teknologi baru ini memiliki potensi bahaya khususnya pada saat kritis
pencampuran. Akibatnya, korban berjatuhan tanpa intervensi program pencegahan
dampak kesehatan yang seyogianya dilakukan Dinas Kesehatan tingkat local maupun
tingkat pusat.
Perkebunan dapat dianggap sebagai satu masyarakat
tertutup, sehingga usaha-usaha kesehatanpun harus disesuaikan dengan
sifat-sifat masyarakat demikian, dalam arti menyelenggarakan sendiri dan untuk
kebutuhan sendiri. Dalam hal ini sesuai pula dengan luas lahan pertanian atau
perkebunan yang sudah sepatutnya ada usaha-usaha meliputi bidang preventif dan
kuratif, baik mengenai peyakit umum, kecelakaan kerja, dan penyakit akibat
kerja.
Sudah dapat diduga bahwa pekerja-pekerja pertanian dan
perkebunan penyakit-penyakit oleh sanitasi buruk adalah hal yang terpenting.
Dari itu kesehatan dan kebersihan lingkungan serta sangatlah perlu.
PEMBAHASAN
2.1 Kualitas Kesehatan
Kerja Petani
Kualitas petani, langsung maupun tidak, berhubungan
dengan indeks perkembangan manusia (IPM) . dalam IPM kesehatan petani harus
dilihat dalam dua aspek. Yakni, kesehatan sebagai modal kerja dan aspek
penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan, khususnya factor risiko akibat
penggunaan teknologi baru dan agrokimia.
Bekerja sebagai petani memerlukan modal awal. Selain
stamina, kondisi fisik harus mendukung pekerjaan tersebut. Seorang petani
jangan sampai sakit-sakitan. Kemudian tingkat pendidikan dan kesehatan awal.
Kesehatan petani diperlukan utnuk mendukung produktivitas
Secara teoretis apabila seseorang bekerja, ada tiga
variable pokok yang saling berinteraksi. Yakni, kualitas tenaga kerja, jenis
atau beban pekerjaan dan lingkungan pekerjaannya. Akibat hubungan interaktif
berbagai factor risiko kesehatan tersebut, apabila tidak memenuhi persyaratan
dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang berhubungan dengan pekerjaan.
Gangguan kesehatan akibat atau berhubungan dengan pekerjaan dapat bersifat akut
dan mendadak, kita kenal sebagai kecelakaan, dapat pula bersifat
menahun.berbagai gangguan kesehatan yang berhubungan dengan pekerjaan misalnya para
petani mengalami keracunan pestisida dari dari tingkat sedang hingga tingkat
tinggi.
Penyakit yang berhubingan dengan pekerjaan petani yang
diderita oleh petani seperti sakit pinggang (karena alat cangkul yang tidak
ergonomis), gangguan kulit akibat sinar ultraviolet dan gangguan agrokimia.
Penggunaan agrokimia khususnya pestisida merupaka factor risiko penyakit yang
paling sering dibicarakan. Kondisi kesehatan awal petani berpengaruh terhadap
penyakit-penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan. Seperti, penderita anemia
karena kekurangan gizi disebabkan kecacingan di sawah atau perkebunan maupun
kurang pasokan makanan, kemudian dapat diperburuk dengan keracunan
organofospat.
Beberapa penyakit yang dihubungkan dengan pekerjaan,
termasuk penyakit infeksi yang diakibatkan bakteri, virus, maupun parasit.
Misalnya penyakit malaria, selain dianggap sebagai penyakit yang merupakan
bagian dari kapasitas kerja atau modal awal untuk bekerja, juga dapat dianggap
sebagai penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan.
2.2 Penyakit Endemik
sebagai Faktor Resiko
1. Malaria
Petani Indonesia umumnya bekerja di daerah endemic
malaria , habitat utama di persawahan dan perkebunan. Parasit malaria akan
menyerang dan berkembang biak dalam butir darah merah sehingga seseorang yang
terkena malaria akan menderita demam dan anemia sedang hingga berat. Anemia dan
kekurangan hemoglobin dapat mengganggu kesehatan tubuh serta stamina petani.
Seseorang yang menderita anemia akan memiliki stamina yang rendah, loyo, cepat
lelah, dan tentu saja tidak produktif.
2. Tubekulosis
Penyakit yang sering diderita oleh angkatan kerja
Indonesia termasuk petani adalah tuberculosis (TBC). Kelompok yang terkena
resiko penyakit TBC adalah golongan ekonomi lemah khususnya petani dengan
kondisi ekonomi lemah tersebut. TBC diperburuk dengan kondisi perumahan yang
buruk, rumah tanpa ventilasi dengan lantai tanah akan menyebabkan kondisi
lembab, pengap, yang akan memperpanjang masa viabilitas atau daya tahan kuman
TBC dalam lingkungan.
Penderita TBC akan mengalami penurunan penghasilan
20-30%, kinerja dan produktivitas rendah, dan akan membebani keluarga.
3. Kecacingan dan Gizi Kerja
Untuk melakukan aktivitas kerja membutuhkan tenaga yang
diperoleh dari pasokan makanan. Namun makanan yang diperoleh dengan susah payah
dan seringkali tidak mencukupi masih digerogoti oleh berbagai penyakit menular
dan kecacingan. Masalah lain yang dihadapi ankgatan kerja petani adalah
kekurangan gizi. Kekurangan gizi dapat berupa kekurangan kalori untuk tenaga
maupun zat mikronutrien lainnya, akibat dari tingkat pengetahuan yang rendah
dan kemiskinan.
4. Sanitasi Dasar
Sanitasi dasar merupakan salah satu factor risiko utama
timbulnya penyakit-penyakit infeksi baik yang akut seperti kolera, hepatitis A,
disentri, Infeksi Bakteri Coli maupun penyakit kronik lainnya.
Tidak mungkin petani bekerja dengan baik kalau sedang
menderita malaria kronik atau diare kronik. apalagi TBC. Untuk meningkatkan
produktivitas, seorang petani harus senantiasa mengikuti pengembangan diri.
Lalu tidak mungkin mengikuti pelatihan dengan baik kalau tidak sehat. Untuk itu diperlukan
khusus kesehatan dan keselamatan kerja petani sebagai modal awal seseorang atau kelompok tani agar bisa bekerja dengan
baik dan lebih produktif.
2.3 Faktor Risiko
Kesehatan Kerja Petani
Gabungan konsep kualitas kesehatan tenaga kerja sebagai
modal awal untuk bekerja dengan resiko bahaya lingkungan pekerjaannya.
Petani Indonesia pada umumnya tidak memerlukan
transportasi menuju tempat pekerjaannya, namun bagi petani perkebunan apalagi
yang tinggal diperkotaan yang memerlukan waktu lama menuju tempat kerjanya maka
kualitas dan kapasitas kerjanya akan berkurang. Terlebih lagi bagi petani yang
menggunakan sepeda motor yang harus exposed terhadap pencemaran udara dan
kebisingan jalan raya. Tentu akan menimbulkan beban yang lebih berat.
Mengacu pada teori kesehatan kerja maka resiko kesehatan
petani yang ditemui di tempat kerjanya adalah sebagai berikut :
Mikroba : factor resiko yang memberikan konstribusi terhadap kejadian
penyakit infeksi, parasit, kecacingan, maupun malaria. Penyakit kecacingan dan
malaria selain merupakan ancaman kesehatan juga merupakan factor risiko
pekerjaan petani karet, perkebunan lada, dan lain-lain. Berbagai factor risiko
yang menyertai leptospirosis, gigitan serangga, dan binatang berbisa.
Faktor lingkungan kerja
fisik : sinar ultraviolet, suhu panas, suhu dingin,
cuaca, hujan, angin, dan lain-lain.
Ergonomi : kesesuaian alat dengan kondisi fisik petani seperti cangkul,
traktor, dan alat-alat pertanian lainnya.
Bahan kimia toksik : agrokimia seperti pupuk, herbisida, akarisida, dan pestisida.
2.4 Aspek Kesehatan Kerja
Yang Berhubungan Dengan Penggunaan Agrokimia
Agrokimia merupakan salah satu masalah utama kesehatan
petani berkenaan dengan pekerjaannya. Agrokimia meliputi semua bahan kimia
sintetik yang digunakan untuk kepentingan dan keperluan luas produksi
pertanian. Bahan tersebut meliputi hormone pemacu pertumbuhan, pupuk,
pestisida, antibiotika, dan lain-lain.
Pengaruh atau dampak penggunaan agrokimia terhadap
kesehatan kerja adalah sebagai berikut :
·
Tergantung bahan kimia
·
Tergantung besar kecilnya dosis
·
Cara aplikasi, bagaimana
agrokimia tersebut digunakan di lapangan.
·
Pestisida digunakan karena daya
racunnya (toksisitas) untik membunuh hama. Oleh sebab itu penggunaan pestisida
dilapangan memeiliki potensi bahaya kesehatan kerja.
Dalam melakukan penilaian terhadap aspek kesehatan kerja
dengan pestisida, ada dua hal yang harus diperhatikan :
a. Toksisitas, sifat dan karakteristik pestisida
Tiap jenis pestisida memiliki sifat, karakteristik, dan
toksisitas yang berbeda. Oleh sebab iti harus dipelajari. Disamping itu,
pestisida yang ada di pasaran dalam bentuk kemasan ada tiga komponen bahan
kimia yaitu :
·
Active Ingredient (a.i)
·
Stabilizer
·
Pewarna, pembau, pelarut, dan
lain-lain.
Masing-masing bahan kimia tersebut memiliki potensi
bahaya kesehatan. Namun, toksisitasnya diperhitungkan terhadap active
ingredient. Sedangkan ketiga bahan kimia tersebut saling berpotensi membentuk
toksisitas baru.
Dampak patofisiologi keracunan pestisida tergantung
jenis dan sifat pestisida tersebut. Misalnya golongan organochlorine dapa
mengganggu fungsi susunan syaraf pusat. Golongan karbamat dan organofospat
menimbulkan gangguan susunan syaraf pusat dan perifer melalui ikatan cholinesterase.
b. Aspek Penggunaan
Semua aspek yang berhubungan dengan penggunaan serta
aspek manusia pekerja itu sendiri seperti, pendidikan, keterampilan, perilaku,
umur, tinggi tanaman, pakaian pelindung, dan lain-lain.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah :
Alat Pelindung Diri
Satu hal yang sering dilupakan oleh petani pada
penggunaan pestisida adalah contact poison. Oleh karena itu route of entry
melalui kulit sangat efektif. Apalagi kalau ada defect kelainan kulit atau
bersama keringat, penyerapan oleh efektif akan lebih efektif. Petani umumnya
kurang mengetahui hal ini, mereka umumnya suka menggunakan masker dan telanjang
dada, ketimbang menutupi dirinya dengan pakaian pelindung.
Faktor yang mempengaruhi perilaku pemajanan (behavioral exposure)
Apabila seseorang bekerja menyemprot pestisida
dilapangan maka jumlah pestisida yang kontak dengan badan akan dipengaruhi oleh
:
·
Tinggi tanaman
·
Umur
·
Pengalaman
·
Pendidika dan Keterampilan
·
Arah dan kecepatan angin
Sedangkan fase kritis yang harus diperhatikan adalah :
·
Pencampuran
·
Penyemprotan/penggunaan
·
Pasca penyemprotan
2.5 Pelaksanaan K3 di
pertanian dan perkebunan
Berikut terdapat beberapa cara strategis yang menyangkut
pembangunan kesehatan dan keselamatan kerja petani yang merupakan tugas pemerintah,
apalagi yang mengandalkan pertanian dan perkebunan sebagai sumber pendapatan
asli daerahnya.
Komitmen terhadap kualitas kesehatan petani
Pemerintah harus meiliki komitmen yang cukup terhadap
permasalahan kesehatan dan keselamatan kerja petani serta penyakit-penyakit
yang berhubungan dengan pekerjaan petani.
Komitmen terhadap masalah kesehatan petani sangat
penting untuk mendukung perekonomian wilayah maupun regional. Keberpihakan
terhadap permasalahan petani perlu ditumbuhkan untuk membangun komitmen
ini.sebagai contohnya adalah program sanitasi dasar untuk rumah tangga penduduk
miskin, petani sebagai sektor informal harus dianggap sebagai investasi daerah
untuk mendukung investasi perekonomian.
Perencanaan
Perencanaan K3 meliputi antara lain :
Sasaran penerapan K3 harus jelas
Pengendalian terhadap resiko
Peraturan, undang-undang dan standar harus sesuai
Penerapan K3
Pelayanan Kesehatan & keselamatan kerja
Penyuluhan tentang kesehatan dan penyakit akibat kerja yang terkait
dengan pekerjaan petani
Upaya kesehatan kerja (UKK) memberika penyuluhan seperti
bagaimana menggunakan pestisida secara aman, bagaimana menggunakan bahan kimia
berbahaya secara benar agar tidak membahayakan diri petani dan lingkungannya.
Serta upaya pencegahan dan pengobatan penyakit yang berkaitan dengan
pekerjaannya.
Masalah kesehatan dan keselamatan kerja petani bukan
hanya memperhatikan factor risiko yang ada dalam pekerjaannya, namun juga harus
menjangkau tingkat kesehatan sebagai modal awal untuk bekerja. Untuk itu
program penyediaan air bersih, perumahan sehat juga mendukung tingkat kesehatan
dan kesejahteraan petani.
Pengukuran dan evaluasi
Pengukuran dan evaluasi meliputi pemeriksaan kesehatan
petani, utamanya yang terpapar dengan agrikimia atau pestisida dan memeriksa apakah
terjadi perubahan anatomi tubuh akibat dari factor ergonomic kerja yang tidak
diperhatikan.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Untuk membangun kualitas kesehatan dan produktivitas
petani diperlukan kemampuan atau kapasitas pengelolaan program. Kemampuan
pemerintah dalam mengelolah tenaga kerja khususnya petani perlu melibatkan
kemampuan profesionalisme tenaga ahli seperi dokter, perawat, dan petugas
kesehatan masyarakat.
Untuk itu, pelatihan dan pemahaman terhadap masalah
kesehatan sebagai modal awal maupun kesehatan yang berkenaan dengan pekerjaan
harus dikelola secara tepat.
0 comments:
Post a Comment